Kamis, 01 Agustus 2013

Sebuah Rindu

Mungkin aku hanya seorang pemimpi, pemimpi yang bermimpi ingin bersamamu membangun sebuah hubungan bak sepasang kekasih. Bagiku hal tersebut adalah sebuah mimpi belaka, banyak sekali hal yang membuat kita tak mungkin bersatu. Bahkan kau pun tak akan menolehku, hanya menganggap seorang teman meski tah rasa nyaman yang kita miliki lebih dari rasa nyaman antar teman.
Saat ini aku terlalu berharap pada mimpi itu, hatiku tak ingin melepasnya meski otakku memberitahuku rasa sakit yang akan aku tanggung, kehilangan yang aku terima ketika aku masih memegang mimpi dan rasa itu. 
Sejak awal otakku bahkan hatiku juga mengingatkan bahwak aku harus mematikan perasaan itu. Aku terlalu terlena dengan mimpi indah hingga akhirnya hatiku berhianat, berkonspirasi agar aku tetap terlena bermimpi akan dirimu. Bermimpi bersamamu....

Saat ini, aku merasa bahwa kita mulai bangun dari mimpi kita. Mulai menjaga jarak dan tutur kata. 

Aku rindu saat bersamamu,
Aku rindu saat kita tertawa bersama,
Aku rindu saat kita saling mengejek satu sama lain,
Aku rindu saat kau tertidur pulas disampingku,
Aku rindu saat kita berdua menikmati film yang kita tonton bersama baik di bioskop atau dvd.

Aku rindu kamu ....

Aku tahu bahwa aku pasti bisa tetap berdiri meski kau tak bersamaku, tapi aku selalu ada harapan, sebuah mimpi bahwak kamu masih tinggal disini menemaniku... 

Mimpi ... Tapi hey, semua yang ada didunia ini berangkat dari sebuah mimpi bukan? 

Selasa, 03 Juli 2012

Nenek Oge

Nenek oge adalah seorang yang diusianya yang senja ini masih menyiratkan kecantikan masa mudanya. Dibalik keriput yang menghiasi mukanya masih tersirat kehalusan senyum dan kecantikan pribadinya.
Nenek Oge tahun ini berusia 78 tahun. Meski dengan langkahnya yang tertatih tidak pernah menyurutkan semangatnya untuk merawat kebunnya di lahan milik anaknya, ya nenek Oge sekarang sudah tinggal dengan anak ke tiganya. Diusianya yang senja ini tidak memungkinkan dia untuk ditinggal sendirian maupun mengurus hidupnya sendiri, itulah alasan mengapa anak ketiganya membawanya tinggal bersama dirumahnya yang kecil. Anak Pertamanya telah lama tinggal di luar negeri, birokrasi dua negara yang menyebalkan menyurutkan keinginannya untuk membawa nenek Oge tinggal dengannya. Anak kedua dengan berat hati tidak bisa menawarkan diri untuk merawatnya karena harus menampung keluarga suaminya. Kendati begitu dia kerap datang ke rumah si bungsu hanya sekedar untuk berbicara dengannya.
Nenek Oge membesarkan ketiga anaknya dengan penuh kasih sayang, janda prajurit ini membesarkan mereka dengan sekuat tenaga. Nenek Oge adalah pribadi yang pintar, dia mengolah hasil sawahnya yang kecil seorang diri hingga anak2nya cukup besar untuk membantunya, sawahnya yang kecil merupakan warisan dari keluarga nenek Oge yang merupakan petani, sedangkan suaminya? hanya mewariskan uang pensiunan saja selepas kematiannya. Nenek Oge memutar otak dengan pintarnya untuk mengolah aset-aset yang dimiliknya. Sawahnya adalah mata pencaharian utama, sedangkan uang pensiunanya sebagian digunakan sebagai modal untuk berjualan kue. Dari hasil sawahnya dia berhasil menyekolahkan anaknya hingga lulus kuliah sedangkan dari hasil penjualan kuenya mereka bisa terus makan setiap hari dengan lauk yang sederhana.
Nenek Oge tidak pernah memarahi anak-anaknya, beliau mengajarkan bahwa mengajar dengan kekerasan hanya akan membuat anak-anaknya menjadi pribadi yang tempramen. Beliau mengajarkan kepada anak-anaknya tentang bagaimana bertanggung jawab dan mengatur waktu juga mengajarkan bahwa setiap kesalahan yang terjadi merupakan pembelajaran, sehingga anak-anaknya suatu hari tidak akan melakukan lagi.
Nenek Oge bukanlah wanita terpelajar, dijamannya dahulu perempuan hanya boleh mengenyam pendidikan sebatas SD hal itu tak menyurutkan dia untuk belajar bersama dengan anak-anaknya ketika malam datang, walau hanya sekedar menemani sembari dia membuat kue untuk dijual esok harinya. Namun bagi anak-anaknya beliau adalah guru yang terbaik, kata-kata dan juga saran-saran tentang hidup yang mengembangkan pribadi anak-anaknya hingga seperti ini.
Bagi nenek Oge, Berjuang hidup adalah berjuang demi masa depan anak-anaknya dan melihat mereka dewasa dan bahagia. Itulah mengapa dia tidak pernah menyesal ataupun marah kepada setiap hal yang terjadi, kepada setiap peluh yang jatuh dia tak pernah merasa lelah, senyum anak-anaknya merupakan semangat dan hadiah terindah baginya.
Nenek Oge tidak pernah meminta anak-anaknya untuk membantunya, baik di sawah maupun ketika berjualan kue. Bagi nenek oge, sekolah dan belajar adalah yang terutama yang wajib mereka lakukan namun merekalah yang dengan senang hati selalu membantu ibunya. Bagi mereka meringkan beban ibunya sama dengan wujud bersyukur.
Di tengah kesederhanaan kehidupan mereka dulu, mereka tidak pernah berhenti untuk berbagi, sekecil apapun yang bisa mereka berikan kepada yang membutuhkan maka mereka akan memberikan itu dengan tulus. Dengan cara itu nenek Oge membesarkan anak-anaknya, untuk bersyukur, berbagi dengan sesama sehingga tidak tamak, bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan percaya diri serta ikhlas.
Putra Putrinya sekarang sudah menjadi pribadi yang tangguh, pribadi yang bertanggung jawab, murah hati dan ramah. Sebuah mimpi yang menjadi kenyataan bagi dia tugas terutama dia sudah selesai, sekarang tugas dia adalah merawat cucu-cucunya sembari memastikan bahwa mereka bisa tetap bahagia dengan pasang surut kehidupan mereka masing masing.
“Alasanku berjuang adalah orang-orang yang kucintai, memberikan yang terbaik bagi mereka dan melihat mereka tersenyum tak peduli aku bermandi peluh dan darah bagiku adalah hadiah terindah”

Nenek Oge

Nenek oge adalah seorang yang diusianya yang senja ini masih menyiratkan kecantikan masa mudanya. Dibalik keriput yang menghiasi mukanya masih tersirat kehalusan senyum dan kecantikan pribadinya.
Nenek Oge tahun ini berusia 78 tahun. Meski dengan langkahnya yang tertatih tidak pernah menyurutkan semangatnya untuk merawat kebunnya di lahan milik anaknya, ya nenek Oge sekarang sudah tinggal dengan anak ke tiganya. Diusianya yang senja ini tidak memungkinkan dia untuk ditinggal sendirian maupun mengurus hidupnya sendiri, itulah alasan mengapa anak ketiganya membawanya tinggal bersama dirumahnya yang kecil. Anak Pertamanya telah lama tinggal di luar negeri, birokrasi dua negara yang menyebalkan menyurutkan keinginannya untuk membawa nenek Oge tinggal dengannya. Anak kedua dengan berat hati tidak bisa menawarkan diri untuk merawatnya karena harus menampung keluarga suaminya. Kendati begitu dia kerap datang ke rumah si bungsu hanya sekedar untuk berbicara dengannya.
Nenek Oge membesarkan ketiga anaknya dengan penuh kasih sayang, janda prajurit ini membesarkan mereka dengan sekuat tenaga. Nenek Oge adalah pribadi yang pintar, dia mengolah hasil sawahnya yang kecil seorang diri hingga anak2nya cukup besar untuk membantunya, sawahnya yang kecil merupakan warisan dari keluarga nenek Oge yang merupakan petani, sedangkan suaminya? hanya mewariskan uang pensiunan saja selepas kematiannya. Nenek Oge memutar otak dengan pintarnya untuk mengolah aset-aset yang dimiliknya. Sawahnya adalah mata pencaharian utama, sedangkan uang pensiunanya sebagian digunakan sebagai modal untuk berjualan kue. Dari hasil sawahnya dia berhasil menyekolahkan anaknya hingga lulus kuliah sedangkan dari hasil penjualan kuenya mereka bisa terus makan setiap hari dengan lauk yang sederhana.
Nenek Oge tidak pernah memarahi anak-anaknya, beliau mengajarkan bahwa mengajar dengan kekerasan hanya akan membuat anak-anaknya menjadi pribadi yang tempramen. Beliau mengajarkan kepada anak-anaknya tentang bagaimana bertanggung jawab dan mengatur waktu juga mengajarkan bahwa setiap kesalahan yang terjadi merupakan pembelajaran, sehingga anak-anaknya suatu hari tidak akan melakukan lagi.
Nenek Oge bukanlah wanita terpelajar, dijamannya dahulu perempuan hanya boleh mengenyam pendidikan sebatas SD hal itu tak menyurutkan dia untuk belajar bersama dengan anak-anaknya ketika malam datang, walau hanya sekedar menemani sembari dia membuat kue untuk dijual esok harinya. Namun bagi anak-anaknya beliau adalah guru yang terbaik, kata-kata dan juga saran-saran tentang hidup yang mengembangkan pribadi anak-anaknya hingga seperti ini.
Bagi nenek Oge, Berjuang hidup adalah berjuang demi masa depan anak-anaknya dan melihat mereka dewasa dan bahagia. Itulah mengapa dia tidak pernah menyesal ataupun marah kepada setiap hal yang terjadi, kepada setiap peluh yang jatuh dia tak pernah merasa lelah, senyum anak-anaknya merupakan semangat dan hadiah terindah baginya.
Nenek Oge tidak pernah meminta anak-anaknya untuk membantunya, baik di sawah maupun ketika berjualan kue. Bagi nenek oge, sekolah dan belajar adalah yang terutama yang wajib mereka lakukan namun merekalah yang dengan senang hati selalu membantu ibunya. Bagi mereka meringkan beban ibunya sama dengan wujud bersyukur.
Di tengah kesederhanaan kehidupan mereka dulu, mereka tidak pernah berhenti untuk berbagi, sekecil apapun yang bisa mereka berikan kepada yang membutuhkan maka mereka akan memberikan itu dengan tulus. Dengan cara itu nenek Oge membesarkan anak-anaknya, untuk bersyukur, berbagi dengan sesama sehingga tidak tamak, bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan percaya diri serta ikhlas.
Putra Putrinya sekarang sudah menjadi pribadi yang tangguh, pribadi yang bertanggung jawab, murah hati dan ramah. Sebuah mimpi yang menjadi kenyataan bagi dia tugas terutama dia sudah selesai, sekarang tugas dia adalah merawat cucu-cucunya sembari memastikan bahwa mereka bisa tetap bahagia dengan pasang surut kehidupan mereka masing masing.
“Alasanku adalah berjuang adalah orang-orang yang kucintai, memberikan yang terbaik bagi mereka dan melihat mereka tersenyum tak peduli aku bermandi peluh dan darah adalah hadiah terindah”

Surat untuk Ibunda

Untuk Ibunda

Ibu maafkan ananda yang pergi tanpa pamit ini. Ananda pergi kali ini mungkin akan lebih lama dari biasanya. Ibunda, banyak sekali yang ingin sekali anakmu ini ceritakan namun tidak ada keberanian, ananda tahu bahwa ketika ananda bercerita nantinya, segala sesuatunya tidak akan sama lagi. Tapi bagaimanapun aku masih tetap ananda, anakmu yang ketiga.

Ibu, ananda merasa banyak sekali keterbatasan dalam hidup ananda. Ingin sekali ananda bisa menyuarakan pendapat ananda tanpa ketakutan bahwa ibunda akan marah. Ananda tahu bahwa pahit getir yang sudah ibunda dapatkan bertahun tahun menempa ibunda menjadi sosok yang tegas, keras dan berwibawa. Sosok yang menggantikan sosok ayah yang tidak pernah ada di sisi kami, sosok yang sangat ananda inginkan dan rindukan. Bertahun tahun ditempa oleh kerasnya hidup membuat ibunda kadang kala menjadi sosok yang sangat emosional. Itulah yang kadang membuat beberapa orang menjauh dari ibunda karena tidak ingin terlibat konflik, namun sosok ibunda yang emosional juga kadang kala membuat ibunda mudah dimanfaatkan oleh beberapa orang sebagai keuntungan pribadi mereka.

Ibu, Ibu ingat tidak ketika ananda masih SD? Disaat itu apapun yang ananda minta selalu ada, kita bisa liburan di bali. Ibu terlihat cantik karena masih merawat diri. Banyak orang saat itu disekitar Ibu. Tapi waktu itu tidak ada kedekatan apapun diantara kita, hubungan kita casual. Ibu sibuk dengan bekerja sedangkan ananda harus sekolah, yang mengurus ananda saat itu adalah pembantu, kakak pun begitu, sibuk bersekolah dan dengan kegiatannya. Teman terbaik ananda saat itu adalah diri ananda sendiri. Lalu ingatkah ibu ketika ananda pulang karena menangis di ejek dan di ganggu oleh teman teman ananda?? Ibunda dengan marah berkata “Anak laki nggak boleh nangis! Kalo pulang dengan nangis lebih baik nggak usah pulang sekalian, Ibunda nggak mau punya anak laki laki yang cengeng” semenjak itu ananda berjanji buat menjadi kuat dan nggak menangis. Saat itu yang selalu menghibur ananda adalah si mbok pembantu. Tahukah bunda kenapa waktu itu ananda pulang dengan menangis? Ananda di ejek oleh teman teman ananda karena pekerjaan ibunda sebagai pekerja sosial. Ananda di ejek kalo ibu ananda penjual kondom dan wanita nakal. Ananda sangat marah sekali waktu itu namun ananda tidak tahu apa yang harus ananda bilang agar mereka berhenti mengejek ananda atau berkata jelek tentang ibunda. Sekarang Ananda tahu betapa pekerjaan bunda sangat penting, saat itu Ibunda berjuang memberi pendidikan kepada Para Wanita Pekerja Seks dan pemilik Wisma tentang pentingnya penggunaan kondom juga bahaya HIV / AIDS. Ibunda juga memperjuangkan akan hak kesehatan buat para wanita tersebut. Ananda ingat beberapa wanita wanita tersebut adalah wanita yang unik terlepas dari pekerjaan mereka. Ada yang sangat dekat dengan ananda sebagai kakak namun ananda harus kehilangannya kerena wanita tersebut meninggal karena AIDS. Semenjak itu ananda tahu tentang bahayanya penyakit ini dan pentingnya penggunaan kondom. Ananda juga ingat tentang bagaimana ibu berjuang wanita yang terkena penyakit ini bisa diterima masyarakat layaknya kita yang sehat ini, bagaimana mereka bisa dimandikan dan dimakamkan secara layak tanpa ketakutan akan tertular. Bahwa masyarakat sekitar tidak perlu menutup pintu rumahnya rapat rapat ketika ada pengidap penyakit ini meninggal. Ananda kagum ketika melihat ibunda beradu mulut dengan ketua RT dan kepala kampung sekitar ketika memperjuangkan ini. Betapa Ibunda sangat keren sekali saat itu.

Saat ini, meski tidak secantik dulu karena tidak ada waktu dan biaya untuk merawat diri. Ibunda masih tetap seperti dulu, memperjuangkan nilai nilai yang ibu pegang teguh. Mencoba membangun kerajaan yang dulu pernah berdiri tegak. Sekarang dengan sisa tenaga yang ada meski dengan tertatih masih tetap memperjuangkan nilai nilai tersebut. Banyak yang sudah menerima sekarang tapi permasalah ini adalah permasalah yang membutuhkan penyelesaian jangka panjang. Di sini ananda sedikit bersyukur karena kita mulai membangun kedekatan, tahun tahun yang hilang memang tidak pernah bisa tergantikan tapi disaat ini kita sudah bisa bicara secara setara dan kadang bertukar pikiran juga saling mengeluh kesah. Namun tetap, ada hal yang susah untuk dibicarakan atau di lakukan, salah satunya adalah ego, seperti ketika ananda pulang ke rumah untuk membangun kembali kerajaan Ibunda yang mulai runtuh. Disitu ananda hanya membutuhkan kepercayaan dari ibunda untuk menjalankan kerajaan, namun ego dan kekerasan hati yang kadang kala meruntuhkan usaha ananda untuk membangun.

Ananda Ingat saat ananda masih SD ada seorang rekan ibunda yang sangat dekat dengan kita, ananda sangat nyaman dan membuat rekan ibunda sebagai figur pengganti Ayah. Pada saat itu ananda mulai menyadari bahwa rasa kagum telah berubah menjadi sesuatu yang lain, bahwa ketika figur tersebut hilang, hilang pula semangat ananda. Ketika SMA ananda menyadari ada yang lain pada diri ananda, ada yang berbeda antara ananda dan teman teman ananda. Ada rasa ketertarikan yang berbeda ketika ananda melihat teman sesama jenis. Penyadaran ini cukup membuat ananda sangat stress pada saat itu, terlebih lagi ketika pada saat itu kerajaan yang Ibu dirikan sedikit demi sedikit runtuh. Segala kenyamanan yang dulu ananda dapat mulai berkurang, memang dari kecil ananda telah Ibu didik dengan segala macam kesederhanaan, namun sebagai remaja dengan kebutuhan pengakuan dari sesamanya pada waktu itu cukup membuat ananda limbung. Bersekolah di sekolah swasta yang cukup ternama di tengah kota yang rata rata siswanya berekonomi menengah keatas, pembayaran uang sekolah yang terlambat pun membuat ananda stress saat itu. Ingatkah Ibunda ketika ananda tidak bersekolah untuk beberapa hari bahkan di raport ananda membolos dan ijin juga sakit hingga 30 hari? Itu adalah bentuk stress ananda waktu itu, stress akan keadaan sekeliling, stress akan keadaan diri ananda sendiri.

Ketika ananda memutuskan untuk tidak berkuliah pada waktu itu adalah karena pertimbangan biaya yang tidak mungkin bisa dibayarkan oleh ibu, ananda tahu bahwa ibu akan mencari berbagai cara untuk membiayai ananda kuliah tapi ananda tidak ingin ibu memiliki beban lagi. Ananda bersyukur sudah disekolahkan hingga lulus SMA dan tanggung jawab ananda sendirilah untuk membiayai kuliah sendiri. Proses penyangkalan terhadap diri ananda berlangsung bertahun tahun setelah ananda lulus SMA, hingga ananda berumur 20 tahun, pada umur tersebut ananda mulai mengenal dunia abu. Pada saat ananda berumur 23 tahun ananda mulai berani membuka diri dan mencoba pacaran layaknya Pria dan Wanita. Ananda pun mengalami stress yang berat ketika diputuskan oleh pria tersebut hingga akhirnya membuat ananda pindah ke Jakarta dan mencoba untuk focus pada karir dan mengacuhkan segala hal tentang diri ananda.

Proses Denial tersebut sangat menyiksa ananda, hingga akhirnya ananda kembali ke Surabaya untuk membangun kerajaan Ibunda. Semenjak ananda kembali ke Surabaya ananda bertekad untuk lebih mengenal diri ananda sendiri, mencoba menerima, mencoba ikhlas. Beberapa kali ananda mencoba untuk menjalin hubungan yang serius, orang orang tersebut pernah ananda bawa kerumah, baik itu menginap atau hanya mampir. Ibunda selama dalam proses tersebut hati ananda berkali kali sakit, namun selalu ada teman teman ananda yang menyemangati ananda. Tapi bagi ananda sebuah mimpi besar bagi ananda adalah Ibunda bisa menerima keadaan ananda, bahwa ananda masih anak Ibunda meski dengan orientasi yang berbeda dengan kemungkinan untuk tidak bisa memberikan keturunan bagi Ibunda. Sebuah mimpi bagi ananda untuk bisa membuat ibunda bahagia, tidak perlu bekerja keras dan bisa tersenyum. Namun ananda juga ingin bahagia dengan berbagai pilihan ananda, adik dan kakak sepertinya sudah mengerti dengan keadaan ananda, namun bagaimanapun restu dari Ibunda lah yang menjadi mimpi ananda. Namun bila nantinya hanya menjadi aib, ananda memilih untuk menyimpannya erat erat dan berpura pura semua baik baik saja dan ananda menjauh dari Ibunda.

Mimpi Ananda adalah bisa bersama dengan orang yang ananda sayangi meski itu adalah sebuah mimpi yang entah akan terjadi atau tidak. Namun sebuah penerimaan dari keluargalah yang ananda inginkan untuk bisa terus bermimpi. Ibunda, ananda tahu bahwa mungkin ketika ibu membaca surat ini hati ibunda akan tercabik cabik atau bahkan kecewa, maafkan sekali lagi anandamu ini ibu. Bahwa berat sekali memang bagi ananda mengatalan ini langsung kepada Ibu, Ananda tidak peduli akan dunia, yang ananda pedulikan adalah ibunda. Maafkan anandamu ini.

Mungkin ibunda membaca surat ini ketika ananda sudah pergi lama, ketahuilah surat ini sudah ananda tulis lama namun butuh sejuta keberanian untuk mengirimkannya. Dan pada saat ibunda membaca ini ananda mungkin sedang tertatih di suatu tempat, mencoba merintis segala sesuatunya, mencoba meraih mimpi ananda entah dengan atau tanpa orang yang ananda sayangi namun ketahuilah ibunda bahwa anandamu ini selalu menyayangimu dan menghormatimu sebagai panutan hidup ananda. Peluk dan cium rindu dari anandamu ini. Ananda akan mencoba memberi kabar sesekali ke adik ataupun kakak.

Salam,


Ananda

Jumat, 12 Agustus 2011

Baju Lebaran untuk Bapak


Bapakku adalah seorang Pria yang hebat. Bapakku merangkap sebagai ibuku, pekerjaan itu dia rangkap semenjak ibu kami meninggal waktu melahirkan Ragil, pendarahan yang hebat membuat ibu tak bisa bertahan. Tak bisa membuat dia menunaikan kewajiban dia untuk yang terakhir kali ke Ragil, menyusui dan membimbing dia ke dunia ini.
Tugas ibu semenjak itu telah di ambil alih oleh bapak secara penuh, bekerja keras menafkahi kami, membuat kami semua bisa bersekolah hingga lulus kuliah dan menjadi sarjana. Merawat dan mengasuh kami di tengah kesibukannya sebagai wirausahawan. Ya, bapak meninggalkan pekerjaannya sebagai pegawai bank dan mengambil resiko dengan membuka sebuah rumah makan kecil, semua itu dilakukan agar dia bisa merawat kami sepenuhnya tanpa melewatkan perkembangan kami, setiap moment berharga yang tidak bisa dia bagi ke ibu. 
Hidup kami waktu itu berkutat pada rumah makan kami dan sekolah. Rumah makan kami saat itu masih menjadi satu dengan rumah, bapak menggunakan garasi rumah saat itu sebagai tempat berjualan makanannya. Posisi rumah kami yang dekat dengan jalan besar membuat rumah makan kami ramai dikunjungi. Di mulai dari seukuran garasi mobil sekarang kami memiliki sebuah rumah makan yang cukup besar disamping rumah kecil kami. Bapak tidak mau membangun Rumah makan jauh dari rumah karena ingin terus memperhatikan perkembangan kami.
Bapak adalah pribadi yang ramah namun tegas, tidak pernah sedikitpun menggunakan kekerasan kepada kami bila kami salah atau nakal. Pengalamanku waktu masih kecil ketika aku memukul temen sekelasku hingga bapak dipanggil kesekolah, beliau datang dengan tetap tersenyum. Menemui wali kelasku dan meminta maaf kepada orang tua temanku yang aku pukul tadi. Memintaku meminta maaf kepada temanku dan orangtuanya kemudian menggandengku pulang dengan hangat. Sesampainya dirumah beliau hanya bertanya “alasan bertengkar tadi kenapa dek?” dengan lembut sehingga tanpa sadar aku pun menangis lega dan mengutarakan semua alasan kenapa aku bertengkar dan sebagainya, lalu dengan lembut bapak hanya berkata “ya sudah kalau sudah mengerti jangan diulangi lagi dan tadi sudah minta maaf secara tulus kan?” sembari mengusap kepalaku dengan lembut dan membuatkan susu coklat.
Setiap kali kami ada masalah bapak selalu menenangkan kami dengan mendengarkan keluhan dan cerita dengan sabar kemudian menengangkan kami dengan segelas susu coklat. Ketika aku bertanya kenapa susu coklat pak? bapak hanya menjawab dengan ringan, agar kamu lebih tenang dan bisa beristirahat sehingga besok sudah fresh untuk berfikir lagi sembari memberikan senyuman yang hangat.
Bapak ada orang tua yang konservatif dan sangat possesif terhadap anak-anaknya, teringat kejadian waktu mbak pertama kali pacaran, beliau cemas mengawasi mbak dengan pacarnya di ruang tamu melalui ruang makan yang hanya dibatasi sekat sebuat lemari besar. Mencuri dengar dan kadang berdeham sesekali. Beliau baru mengijinkan mbak untuk pergi dengan pacarnya ketika dirasa bahwa dia sudah mengenal pria tersebut dengan jelas, mulai dari no telfon rumah nama orang tua alamat dsbnya. Mbak waktu itu sempet keberatan namun dengan sabar bapak menjelaskan bahwa itu semua demi kebaikan mbak, bahwa dia ingin agar anak2nya aman. Bahwa dia menitipkan anaknya ke orang yang tepat. Semenjak itu mbak tidak pernah berkeberatan bahwa lebih bertanggung jawab. Aku dan Ragil? kami pun diperlakukan yang sama namun kami diberi tahu bahwa ketika membawa anak gadis seseorang, kamu harus bertanggung jawab sepenuhnya. baik secara keamanannya maupun perasaannya, beliau mewanti wanti bahwa ketika kami membawa anak seseorang untuk sekedar kencan, maka kami harus memulangkannya sesuai dengan janji dan tidak membuatnya bersedih.
Bapak akan mengusahakan yang terbaik bagi kami semua, beliau kadang kala lupa membeli keperluan untuk dia sendiri. Kami selalu ingat, setiap lebaran menjelang. Beliau selalu mengantarkan kami ke gerai pakaian, dengan sabar memilihkan pakaian untuk kami namun beliau sendiri hanya membeli sebuah sarung dan baju koko. Bagi dia tidak perlu pakaian baru untuk menyambut Lebaran yang berarti bagi dia adalah hati yang baru. Namun dia ingin membahagiakan anak-anaknya dengan memberikan hadiah bagi mereka yang sudah berjuang menahan lapar dan haus juga mengendalikan emosi selama sebulan penuh dengan Baju baru, bagi kami kini baju baru bukanlah kewajiban tapi apa yang dibilang oleh bapaklah yang wajib bagi kamu setiap lebaran, sebuah hati yang baru.
Bapak Adalah Pribadi yang religius, beliau mengajarkan kami agama. Mengajarkan kami apa itu islam, menceritakan cerita tauladan tauladan, mengajari kami sholat dan mengaji. Beliau tidak pernah memaksa kami untuk beribadah, beliau hanya mengingatkan saja setiap waktu beribadah tiba. Beliau selalu berkata kepada kami bahwa beribadah itu adalah kewajiban, kewajiban yang dilakukan oleh hamba Tuhan sebagai bentuk syukur atas segala nikmat yang diberikan. Kita tidak berhak untuk memaksa hanya mengingatkan, karena ibadah itu berhubungan langsung dengan Tuhan dan hambanya. “Kalau Bapak memaksa maka sholatnya tidak ikhlas karena merasa dipaksa, belum kalau marah, masa berdoa sama tuhan sambil marah-marah? kan ga sopan seperti itu pada pemberi hidup bukan?” itu adalah jawaban yang diberikan bapak ketika aku bertanya kenapa beliau tidak pernah memaksa kami sambil marah-marah seperti orang tua teman teman kami.
Sekarang kami semua sudah telah bekerja, Mbak meneruskan usaha Bapak meski dia telah lulus sebagai sarjana manajemen. Dia hanya mengurusi manajemen rumah makan saja, untuk produksi telah diserahkan sepenuhnya oleh para pekerja yang bertahun tahun bekerja dengan bapak. Bapak hanya sekali kali mengecek produksi karena percaya sepenuhnya dengan mbak, bagaimanapun usahanya ini adalah untuk anak-anaknya. Aku bekerja sebagai dokter, sebuah pekerjaan yang aku idamkan. Bapak mendukungku sepenuhnya dengan semua biayanya. Bapak mengatakan bahwa dokter adalah pekerjaan yang mulia, namun ketika kamu jadi dokter jangan pernah mengambil keuntungan dari pasien yang miskin. Bantulah mereka dengan ikhlas bila kamu bisa membantu, suatu hari itu akan balik lagi ke kamu di kemudian hari. Ragil baru saja lulus sebagai seorang insinyur, dia bekerja di perusahan pengembangan pemukiman, membangun rumah murah. Pemilihan itu pun atas dasar sharing dengan bapak, bahwa pilihlah perusahaan yang mengutamakan warga miskin, jangan mengeruk keuntungan dari warga miskin yang membutuhkan, justru permudahlah kehidupan mereka.
Sebentar lagi lebaran, Hiruk pikuk untuk persiapannya sudah sangat ramai dimana mana. Bapak dengan seperti biasa tidak pernah memikirkan hal itu namun bagi kami, kendatipun Bapak tidak pernah memikirkan itu. Kami ingin memberikan yang terbaik untuk bapak mulai dari lebaran ini ke depannya. Kami ingin menyenangkan dia di usianya. Sekarang bukan saatnya lagi Bapak merawat kami, tapi kami merawatnya. Lebaran kali ini kami semua bisa berkumpul secara lengkap dirumah. Kami memang sengaja tidak memberikan kabar kepada beliau tentang kedatanganku dan ragil. Kebetulan kami berdua bekerja di luar pulau. 
Setibanya dirumah, Bapak dengan kaget dan haru memeluk aku dan ragil, takbir sudah berkumandang dimana mana malam. Kami menghabiskan malam itu bertukar cerita dengan Bapak. Kami ingat kebiasaan bapak bahwa beliau hanya mengenakan baju koko sarung dan kopyah baru setiap lebaran, kami pun masing masing menghadiahkan barang itu untuk bapak. Aku memberikan bapak baju koko, ragil sebuah kopyah dan sajadah baru sedangkan mbak memberikan sarung rajut sutra baru. Kami meminta untuk dikenakan saat sholat Ied esok hari, bapak dengan haru mengangguk. Dia berkata “buat apa kalian repot repot seperti ini, melihat kalian berkumpul dengan senang seperti ini udah hadiah lebaran buat bapak. Bapak bangga dengan kalian semua” Pecahlah tangis kami semua seketika itu. 
Pagi ini adalah idul fitri, hari kemenangan buat semua umat muslim setelah sebulan berpuasa menahan nafsu dan amarah. Kami semua sudah bersiap siap untuk berangkat hingga tiba waktunya ragil untuk memanggil bapak, biasanya bapak sudah siap terlebih dahulu. Kami semua kaget ketika Ragil kembali ke tempat kami dengan air muka yang menahan tangis, sembari memelukku, dia berkata bahwa Bapak meninggal, aku dan mbak dengan segera berlari ke kamar bapak, melihatnya seperti terlelap di atas kursi malasnya sembari memeluk foto kami berempat dengan menggunakan semua yang kami berikan semalam. Sangat Indah digunakan oleh bapak. Aku memeriksa keadaan dan memastikan bahwa memang bapak telah meninggal, Mbak dengan segara memeluk bapak sembari menangis. Bapak terlihat sangat bahagia di tidurnya yang abadi ini. Kami pun memakamkan beliau pada hari itu juga. Kami tidak bersedih hari itu, kami berbahagia. Bapak beristirahat dengan tenang, segala harapannya sudah tercapai melalui kami. Kami pun bahagia bisa membahagiakan bapak meski dengan bentuk sederhana di akhir waktunya yang tak terduga.
Hari ini, Idul Fitri. Hari kemenangan bagi semua umat muslim. Hari kemenangan bagi bapak dan kami anak-anaknya. 
Rory Saroso